SEKILAS NEGOSIASI

KETENTUAN NEGOSIASI :

  1. Apabila penawaran yang masuk kurang dari 3 (tiga) peserta maka Pokja ULP tetap melanjutkan proses pemilihan dengan melakukan klarifikasi dan negosiasi teknis dan harga .
  2. Klarifikasi dan negosiasi teknis dan harga dilakukan dalam hal peserta yang memasukkan penawaran kurang dari 3 (tiga).
  3. Klarifikasi dan negosiasi teknis dan harga dilakukan bersamaan dengan evaluasi.

PERTANYAAN YANG MUNCUL

  1. Apakah jika pada saat sampai batas akhir pemasukan penawaran hanya ada 1 ( satu ) Peserta yang memasukan penawaran proses lelang tetap dilanjutkan?
  2. Apakah proses klarifikasi negosiasi teknis dan harga LANGSUNG dilakukan pada peserta yang sudah memasukan penawaran?
  3. Terkait dilakukannya proses negosiasi teknis dan harga dilakukan bersamaan pada saat evaluasi , apakah itu berarti jika ada penawaran peserta yang tidak sesuai dengan persyaratan minimal , apakah bisa diluluskan dengan meminta peserta memenuhinya?

JAWABAN TERHADAP PERTANYAAN DIATAS

  1. Apakah jika pada saat sampai batas akhir pemasukan penawaran hanya ada 1 ( satu ) Peserta yang memasukan penawaran proses lelang tetap dilanjutkan? Bilamana pada saat sampai batas akhir pemasukan penawaran hanya ada 1 ( satu ) peserta yang masuk maka proses tetap dilanjutkan. ( Pasal 109 ayat 7 huruf c )
  2. Apakah proses klarifikasi negosiasi teknis dan harga LANGSUNG dilakukan pada peserta yang sudah memasukan penawaran? Sepanjang penawaran peserta diangap sebagai penawaran setelah dilakukannya pembukaan penawaran. (Perka Etendering 1 tahun 2015 Angka 2,6 huruf b ), maka penawaran peserta dapat dilakukan pada tahapan selanjutnya yaitu evaluasi dan Klarifikasi Negosiasi teknis dan Harga.Yang dianggap sebagai penawaran :
    File yang dianggap sebagai penawaran adalah dokumen penawaran yang berhasil dibuka dan dapat dievaluasi yang sekurang-kurangnya memuat:
  • Harga penawaran
  • Daftar kuantitas dan harga untuk kontrak harga satuan/gabungan,
  • Jangka waktu penawaran, dan
  • Deskripsi/spesifikasi barang/jasa yang ditawarkan.

    Bilamana salah satu dari syarat minimal yang dianggap sebagai penawaran kurang, maka proses lelang tetap dilanjutkan, dan peserta yang bersangkutan digugurkan pada tahapan evaluasi Administrasi dengan menyebutkan alasan “ Dokumen penawaran tidak diangap sebagai penawaran.
    Bilamana dianggap sebagai penawaran, maka Klarifikasi negosiasi teknis dan harga TIDAK LANGSUNG dilakukan pada penawaran peserta yang sudah memasukan penawaran, namun tetap dilakukan PROSES PEMILIHAN melalui tahapan evaluasi admnistrasi teknis dan harga. ( IKP 26 SBD baca Frase “ Proses Pemilihan ). Yang disebut PROSES PEMILIHAN adalah adanya proses tahapan evaluasi administrasi . evaluasi teknis dan Harga . Jadi tidak ada anggapan lagi bahwa proses klarifikasi negosiasi teknis dan harga LANGSUNG dilakukan tanpa melakukan evaluasi. Hal ini berarti bahwa yang dapat dilakukan klarifikasi negosiasi teknis dan harga adalah, penawaran peserta yang lulus tahapan evaluasi.

  1. Pertanyaan terkait dilakukannya bersamaan dengan evaluasi itu artinya, bahwa kegiatan klarifikasi negosiasi teknis dan harga dilakukan BUKAN pada saat setelah penetapan pemenang atau setelah pengumuman pemenang, NAMUN proses tersebut dilakukan pada tahapan evaluasi penawaran, sehingga disebutkan bahwa proses klarifikasi negosiasi teknis dan harga dilakukan BERSAMAAN DENGAN EVALUASI.

LINK BERKAITAN :Menghapus multitafsir Klarifikasi negosiasi Teknis dan Harga yang dilakukan Bersamaan dengan Evaluasi

UU JASA KONTRUKSI NOMER 2 TAHUN 2017 LEBIH MEMPERTEGAS KUALIFIKASI BADAN USAHA

Sejak terbitnya UU Jasakon Nomer 2 tahun 2017 sebagai Peganti UU Jaskon Nomer 18 Tahun 1999, dapat kita melihat penegasan pada pasal 5 Jasa Kontruksi Nomer 18 Tahun 1999 terkait pembagian resiko, Biaya dan teknologi Pekerjaan Kontruksi, dimana pada pasal 5 pada UU Jaskon Nomer 18 Tahun 1999 tidak mempertegas hal tersebut. Penegasan terkait pembagian badan usaha tersebut yang sangat dipertegas oleh UU Jaskon Nomer 2 tahun 2017 setidaknya menjawab ketentuan aturan turunannya yaitu Permen PU Nomer 31/PRT/M/2015 Tentang Pedoman Pengadaan Jasa Kontruksi pada Pasal 6 d ayat 5 yaitu ”

Paket pekerjaan konstruksi dengan nilai di atas Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dipersyaratkan hanya untuk pelaksana konstruksi dengan kualifikasi Usaha Menengah yang kemampuan dasarnya (KD) memenuhi syarat.

terhadap klausul diatas, jika kita mengacu kepada UU Jaskon lama nomer 18 tahun 1999 pada pasal 5 nya berbunyi :

  1. Usaha jasa konstruksi dapat berbentuk orang perseorangan atau badan usaha.

  2. Bentuk usaha yang dilakukan oleh orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selaku pelaksana konstruksi hanya dapat melaksanakan pekerjaan konstruksi yang berisiko kecil, yang berteknologi sederhana, dan yang berbiaya kecil.

  3. Bentuk usaha yang dilakukan oleh orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selaku perencana konstruksi atau pengawas konstruksi hanya dapat melaksanakan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahliannya.

  4. Pekerjaan konstruksi yang berisiko besar dan/atau yang berteknologi tinggi dan/atau yang berbiaya besar hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas atau badan usaha asing yang dipersamakan

Terhadap bunyi pasal 5 UU Jaskon Nomer 18 Tahun 1999 ini, bisa kita lihat tidak ada penegasan untuk badan usaha yang berbentuk kualifikasi menengah , hanya pada ayai 1 dan ayat 4 nya menyampaikan untuk usaha kecil/peroangan dan badan usaha yang berbentuk perseoroan tanpa menyebut Kualifikasi Menengah dan atau Besar.

Terhadap hal ini UU Jaskon Nomer 2 tahun 2107 juga mempertegas Peraturan pemerintah Nomer 4 tahun 2010 dan perubahannya yaitu :

untitled

Pada pasal 9 jelas kita bisa lihat pembagian terhadap resiko, biaya dan jenis kompleksitas pekerjaannya tidak mempertegas badan usahanya secara rinci, hanya penjelasannya sama dengan apa yang di tuangkan pada pasal 5 UU Jaskon nomer 18 tahun 1999.

Mari kita coba bandingkan dengan Peraturan Presiden Nomer 54 tahun 2010 dan perubahannya yaitu pada padal 100 ayat  3, disana lebih tidak mempertegas rinci kualifikasinya, hanya menyebutkan badan usaha kecil dan badan usaha non kecil .

untitled

Nah pada pasal 100 diatas sering perlakuannya berbeda beda disetiap Pokja terhadap persyaratan kualifikasi pada dokumen pengadaan. Ada yang tetap meluluskan usaha kecil pada paket usaha non kecil sepanjang memliki kemampuan dan memenuhi persyaratan non kecil., karena memang benar pada ketentuan pasal 100 ayat 3 diatas tidak ada kalimat Melarang usaha kecil ikut pada paket usaha non kecil.

Keberadaan Permen PU Nomer 31/PRT/M2015 pun tidak dapat merubah pemahaman pasal 100 terkait pembagian badan usaha berdasarkan nilai, karena kita ketahui tidak ada kebersamaan diantara Pokja menggunakan Standar Bidding yang sama, namun berbeda beda, sehingga memang kedepan diharapkan semua aturan terkait PBJ saling mendukung baik  Pepres PBJ dan atau aturan lembaga/Mentri /Departemen. Seperti draf Pepres penganti 54 tahun 2010 yang menegaskan bahwa untuk ketentuan teknisnya akan diatur oleh ketentuan peraturan kementrian/lembaga /departemen terkait. Jadi kita bisa dapat simpulkan nanti bahwa untuk pekerjaan konturuksi tidak akan bisa lepas dengan UU jaskon/PP/dan Permen PU itu sendiri.

Baik kembali kepada UU Nomer 2 Tahun 2017 terkait ketegasan pembagian bada usaha ( kualifikasi) dilihat dari aspek Nilai, resiko dan kompleksitas pekerjaan, dimana diatur pada pasal 21,22 dan 23.

untitled

Jadi dapat disimpulkan pasal perpasal, bahwa jika dilihat dari segini nilai kurang dari 2.5M , maka diperuntukan untuk usaha kecil/perorangan, dan usaha menengah mengacu kePermen PU Nomer 31/PRT/M/2015 nilai 2.5M s/d 50 M maka diperuntukan untuk usaha menengah dan diatasnya untuk usaha kualifikasi besar.

Perlu juga diingat, pembagian  kualifikasi usaha juga tidak hanya memperhatikan besarnya nilai, juga wajib memperhatikan kompleksitas pekerjaan/kompetensinya sesuai yang diatur pasal pasal 21,22 dan 23 huruf b dan c serta  pasal 100 ayat 3 pepres 54 tahun 2010 dan perubahannya, dimana jika kecilpun nilai paket pekerjaan tersebut maka dapat diperuntukan untuk usaha menengah ataupun besar, tergantung kebutuhan/kompleksitas pekerjaan itu sendiri.

Penulis : I Made Heriyana

MATERI SPSE V 4 LENGKAP TOTURIAL NYA( POKJA,PEJABAT PENGADAAN DAN PPK )

Sesuai Surat Edaran menteri Dalam Negeri Nomer :456/4429 /SJ, Tentang Pedoman Pelaksanaan Aksi dan Pencegahan Korupsi Pemerintah Tahun 2016 dan 2017, pada salah satu lampirannya bahwa Proses Lelang di harapkan menggunakan SPSE V 4. Untuk itu dengan tampilan yang berbeda dan penambahan fitur fitur yang lebih baik dari SPSE Ver 3, di butuhkan pengetahuan penggunaan oleh Pihak Pihak Pengadaan.

Yang berminat silakan di klik tautan nya

  1. Bahan Bahan Umum
  2. SE MENDAGRI
  3. SLIDE PENGENALAN SPSE 4
  4. TOTURIAL PEJABAT PENGADAAN
  5. TOTURIAL PPK
  6. TOTURIAL POKJA

SEMOGA BERMANFAAT

SANGGAHAN ,MENGAPA? DAN BAGAIMANA?

Pengertian sanggahan adalah kalimat yang mengungkapan ketidaksetujuan terhadap suatu atau dengan kata lain kalimat pengungkapan ketidaksetujuan terhadap suatu masalah. Sanggahan dapat terjadi karena adanya ketidaksepakatan terhadap hasil. Bilamana dikaitkan dengan Pengadaan barang dan jasa, maka sanggahan merupakan ketidaksepakatan penyedia terhadap hasil dari proses pemilihan yang dilakukan oleh pokja.

Pada ketentuan Peraturan Presiden Nomer 54 Tahun 2010 dan perubahannya, Sanggahan merupakan HAK yang diberikan kepada penyedia. Sebelum terbitnya Ketentuan Peraturan Presiden Nomer 4 Tahun 2010. Peserta yang tidak puas atas jawaban yang diterima pada saat peserta melayangkan sanggahan , maka diberikan HAK untuk melakukan sanggahan banding, dimana perlakukan sanggahan dan sanggahan banding berbeda. Sanggahan banding baru dapat dikatakan sanggahan banding bilamana peserta memenuhi pasal 82 ayat 1,2 dan 3 . Ketentuan pasal dan ayat  sanggahan banding tidak diperlukan adalah mengacu  dari pasal 109 ayat d Pepres Nomer 4 Tahun 2015 “ dan Perka Etendering Nomer 1 Tahun 2015 pada pasal 4 ayat 1 huruf d “ yaitu dalam etendering sanggahan banding tidak diperlukan. Hal yang dapat dilakukan oleh peserta terhadap ketidakpuasan atas hasil dari sanggahan adalah Peserta memiliki hak untuk melakukan pengaduan, tidak lagi sanggahan banding.

Pada metode lelang yang dilakukan dengan elelang cepat malah sanggahan dan sanggahan banding tidak lagi diperlukan sesuai pasal 4 ayat 4 huruf C yaitu “tidak memerlukan sanggahan dan sanggahan banding.

Sanggahan merupakan hal yang biasa dan harus dihadapi oleh Pokja dan wajib dijawab. Ketentuan wewenang dan tugas tersebut diatur pada pasal 17 aya 2 huruf G angka 1 yaitu tugas Pokja ULP adalah menjawab sanggahan dan Hak peserta untuk menyanggah diatur pada pasal 81 ayat 1 Pepres Nomer 4 tahun 2015 yaitu “Peserta pemilihan yang memasukan dokumen kualifikasi atau penawaran yang merasa dirugikan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan peserta lainnya dapat mengajukan sanggahan.

Mengapa sanggahan bisa terjadi ?

Sanggahan bisa terjadi ada beberapa penyebab :

  1. Adanya kesalahan evaluasi penawaran
  2. Dokumen pengadaan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan
  3. Adanya persyaratan yang diskriminatif
  4. Dll

Sanggah atas dasar kesalahan evaluasi

Pada ketentuan Pepres Nomer 54 Tahun 2010 dan perubahannya,pasal 17 ayat 2 huruf e dan f  tugas pokok Pokja ULP adalah melakukan evaluasi penawaran yaitu kualifikasi, administasi , teknis dan harga terhadap semua penawaran yang masuk. Untuk itu Pokja wajib memahami isi dokumen, metode dan prosedur dokumen dan wajib memiliki sertifikat pengadaan barang dan jasa sesuai pasal 17 ayat 1 huruf d dan e.

Pokja ULP didalam melakukan evaluasi penawaran harus mengacu kepada pasal 79 ayat 1 dan 2 Pepres Nomer 54 Tahun 2010 dan perubahan yaitu harus melakukan evaluasi berdasarkan tata kriteria yang sudah tercantum dalam dokumen pengadaan tanpa mengurangi, menambah dokumen berdasarkan syarat syarat diluar dokumen pengadaan. Jika evaluasi dilakukan dengan tidak mengacu kepada tata cara yang sudah ditentukan pada dokumen pengadaan, maka peserta bisa saja tidak sepakat atas hasil dari proses pemilihan dan peserta dapat menggunakan HAK nya sesuai pasal 81 ayat 1 Pepres Nomer 54 Tahun 2010 dan perubahan. Untuk itu menjadi kewajiban setiap pokja harus memahami tupoksinya sesuai pasal 17. Kegagalan  lelang terhadap kesalahan evaluasi juga diatur oleh pasal 83 yaitu sanggahan peserta benar”

Dokumen tidak sesuai dengan ketentuang perundang undangan

Sesuai salah satu yang harus di pahami pokja adalah Pokja wajib memahami isi dokumen pengadaan yang ditetapkan. Dokumen pengadaan adalah tugas pokja ULP menetapkannya dan isinya dari dokumen berdasarkan Rencana pelaksanaan pengadaan yang disusun dan ditetapkan oleh PPK yang berisi dokumen spesifikasi teknis, dokumen harga ( HPS ) dan dokumen rancangan kontrak. Berdasarkan dokumen tersebut, tentunya Pokja bersama sama PPK menetapkan syarat syarat penawaran berdasarkan kebutuhan pekerjaan bukan karena keinginan , apalagi berdasarkan keinginan untuk mengatur atau mengarah kepada salah satu penyedia. Ketentuan perundangan undangan yang dimaksud adalah berdasarkan jenis pekerjaan apa yang akan dilelangkan . Pepres Nomer 54 Tahun 2010 dan perubahan pengadaan merupakan aturan manajerial sebagai pedoman dalam pengadaan baran dan jasa, sedangkan teknis nya harus tetap mengacu kepada aturan aturan dari lingkup Departemen/Lembaga dan atau kementrian yang membawahi nya.

Salah satu contoh yang benar adalah ketika pada pekerjaan barang kesehatan ( alkes ) tentunya selain mengacu kepada pepres pengadaan sebagai pedoman,tapi harus memperhatikan aturan Menteri kesehatan dalam hal memasukan persyaratan penawaran khususnya persyaratan kualifikasi. Dan untuk persyaratan teknis tetap mengacu kepada kebutuhan barang apa yang dibutuhkan sesuai penyusunan yang sudah dilakukan pada dokumen rencana pengadaan yaitu indentifikasi kebutuhan. Dan salah satu yang salah ketika pada pengadaan barang diatas malah meminta persyaratan kualifikasi SIUJK. Kegagalan  lelang terhadap kesalahan ini juga diatur oleh pasal 83 ayat 3 huruf e yaitu dokumen pengadaan tidak sesuai denga ketentuan pertaurang perundang undangan”

Adanya persyaratan diskriminatif

Tidak berbeda dengan kesalahan evaluasi dan kententuan dokumen yang tidak sesuai dengan peraturan perundang undangan, keselahan persyaratan diskriminatif juga menjadi salah satu adanya sanggahan. Kesalahan ini menjadi salah satu sorotan para peserta kepada Pokja yang sering disampaikan pada saat penjelasan lelang, dimana peserta meminta pokja agar menghapus/mempertimbangkan  salah satu persyaratan yang menurut aturan tidak sesuai .

Hal hal yang terjadi bilamana salah satu dokumen pengadaan mempersyaratkan persyaratan diskriminatif adalah , adanya kesengajaan/mengarah kepada salah satu peserta dengan sengaja mempersyaratkan syarat yang tidak semua dapat dipenuhi oleh peserta. Hal ini justru melanggar prinsip pengadaan pada pasal 5 e dan f yaitu bersaing dan adil /tidak diskriminatif atau memang karena tidak disengaja atas ketidakmampuan pokja terhadap memahami aturan yang ada. Jika itu terjadi, maka gunakalan kesempatan untuk bertanya kepada sumber baik LKPP/ Pengajar /Buku pedoman pengadaan dan atau kepada orang orang yang lebih mengerti terhadap pengadaan saat tahapan penjelasan lelang atau lebih baik sebelum ditetpkan nya dokumen pengadaan, sehingga setiap kekurangan yang ada dapat diperbaiki sebelum paket pekerjaan tersebut di umumkan pelelangannya. Kegagalan  lelang terhadap kesalahan ini  juga diatur oleh pasal 83 ayat 1 dan 3  yaitu dokumen pengadaan tidak sesuai denga ketentuan pertaurang perundang undangandan adanya indikasi persaingan yang tidak sehat.

BAGAIMANA CARA MENJAWAB SANGGAHAN

Menjawab sanggahan tidaklah begitu susah dan juga bukan berarti dianggap tidak susah tergantung kesiapan Pokja dalam hal memahami isi dokumen dan peraturan. Bilamana tidak memahami kedua hal tersebut diatas, itu berarti Pokja wajib mempersiapkan diri bertanya kepada orang orang yang memahami pengadaan, apakah sanggahan itu benar atau tidak. Jika sanggahan itu benar atas ketidakpuasan peserta pada salah satu sebab dokumen/hasil maka Pokja wajib menjawab dan membenarkan sanggahan tersebut, bukan mesti bergaya pintar dan cencerung membenarkan diri dengan tidak membenarkan sanggahan peserta. Resiko yang akan dihadapi bilamana hal itu terjadi adalah , pengaduan.

Pengaduan bukan lagi Hak pokja menjawab kepada peserta, tetapi menjawab kepada pihak pemeriksa. Pemeriksaan itu memastikan Pokja juga menghabiskan waktu dan energy untuk mejawab. Jika benar tidak masalah, dan jika salah hanya satu yang terjadi, maka kita siap siap  akan pindah rumah.

Khusus untuk menjawab sanggahan , hal hal yang harus diperhatikan adalah subsantasi dari materi sanggahan. Salah satu contoh pada persyaratan personil dalam dokumen pengadaan. Semisal dibutuhkan personil A ( SKT )  dan peserta menawarkan personil B ( SKA ) dimana pada kualifikasi keahliannya ruang lingkupnya sama yaitu tidak merubah ruang lingkup pekerjaan. Peserta digugurkan, karena yang dipersyaratkan SKT ditawar SKA. Maka sebelum menyalahkan sanggahan peserta, maka wajib Pokja membaca dasar aturan yang berkaitan dengan Personil ahli kontruksi yaitu contoh Permen PU 9 tahun 2013 tentang kompetesi tenaga ahli dan trampil serta peraturan LPJK. Bilamana kualifikasinya tidak sama, maka bisa tidak dibenarkan menggunakan aturan tersebut dan begitu juga sebaliknya. Menjawab sangahan juga dapat berkonsultasi kepada LKPP. Contoh konsultasi LKPP terkait personil :

untitled

Perlu diketahui menjawab sanggahan tidak dibutuhkan pemikiran secara logika saja, namun wajib menjawabnya berdasarkan aturan apa menjawabnya, sehingga peserta itu puas dan tidak lagi melakukan pengaduan .

SEMOGA BERMANFAAT

PEMAKETAN PEKERJAAN

Jika berbicara pengadaan barang dan jasa, maka kita akan berbicara kembali pengertian pengadaan barang dan jasa, yaitu proses untuk mendapatkan barang dan jasa yang dimulai dari proses perencanaan sampai didapatkannya barang jasa itu sendiri.

Berbicara proses tentunya kita memahaminya sebuah tahapan tahapan . Tahapan yang dimulainya dari dokumen rencana pengadaan yang disusun berdasarkan indentifikasi kebutuhan, penganggaran, penetapan kebijakan umum dan KAK.

Khusus penetapan kebijakan umum pada penetapan pemaketan pekerjaan, PA setidaknya dapat melakukan pemaketan pekerjaan baik pemecahan, penggabungan/pemisahaan berdasarkan jenis pekerjaan yang berdasarkan :

  1. Nilai pekerjaan dan kompleksitas pekerjaan
  2. Level Penyedia
  3. Kualifikasi penyedia

Berdasarkan nilai pekerjaan dan kompleksitas pekerjaan

Berdasarkan pasal 100 ayat 3 Peraturan Presiden Nomer 54 Tahun 2010 dan perubahannya menyatakan, bahwa paket pekerjaan sampai dengan 2.5 M diperuntukan untuk usaha micro/usaha kecil, kecuali paket pekerjaan yang membutuhkan kompetisi teknis yang tidak dapat dilakukan oleh usaha kecil. Contoh untuk pasal ini adalah : Pekerjaan kontruksi dengan nilai HPS 2 M, maka PA menetapkan paket pekerjaan ini untuk usaha kecil. Jika diangap pekerjaan ini memiliki /membutuhkan keahlian khusus/peralatan khusus/personil ahli dan usaha kecil diangap tidak mampu memenuhinya , maka PA dapat saja menetapkan paket pekerjaan ini menjadi paket usaha non kecil walaupun nilai pekerjaanya dibawah 2.5 M dan sewajibnya dalam dokumen pengadaan ditegaskan dan dijelaskan kembali pada saat pejelasan lelang.

Berdasarkan level penyedia :

Berdasarkan ketentuan Permen PU Nomer 31/prt/m/2015, bahwa nilai paket pekerjaan diatas 2.5 M s/d 50 M ,maka PA harus menetapkan paket pekerjaan adalah untuk usaha non kecil ( Menengah ), dan pada Pepres nomer 54 Tahun 2010 ( Menengah dan besar ).

Ketentuan Permen Pu dan Pepres memang sedikit berbeda, dimana untuk pembatasan kualifikasi lebih tegas diatur oleh Permen PU yang mana jika nilai pekerjaannya diatas 2.5 M, maka untuk usaha kecil tidak dapat mengikuti pekerjaan ini, namun jika menggunakan standar Pepres, maka usaha kecil tidak dilarang, sepanjang memenuhi pasal 100 ayat

Berdasarkan Kualifikasi penyedia

PA didalam menyatukan , memisahkan atau memecah paket pekerjaan juga harus mengacu kepada pasal 24,yaitu dilarang menyatukan paket pekerjaan dengan kualifikasi penyedia yang berbeda dan atau lokasinya berbeda beda. Contoh paket pekerjaan gedung dan paket pekerjaan drainase dijadikan 1 paket pekerjaan.

Selain itu diilarang juga memisahkan paket pekerjaan jika target kualifikasi penyedia itu sama dengan lokasi pekerjaan yang sama. Contoh, paket pekerjaan gedung sekolah di daerah X dengan nila 5 M, dipecah menjadi dua paket yaitu setiap paket menjadi 2.5 M.

Ada pertanyaan bagaimana dengan pengadaan yang bersumber dari dua sumber dana, semisal dana APBD dan dana APBN dengan PPK yang berbeda juga ? Apakah dipecah menjadi dua paket walaupun paket pekerjaannya sama?

Pada ketentuan Pepres nomer 54 Tahun 2010 dan perubahannya, pemaketan pekerjaan tidak didasarkan oleh sumber dana yang berbeda atau dari beberapa sumber dana yang berbeda.  Tidak dilarang menggunakan sumber darimana pun untuk pengadaan barang dan jasa sepanjang ruang lingkup pembiayaannya sesuai dengan pasal 2 yaitu APBD dan APBN.

Jikapun dalam satu paket pekerjaan ada dua sumber dana yang berbeda, maka yang dipisah bukan pekerjaannya, tapi ruang lingkup tanggung jawab dan beban anggarannya disesuaikan sesuai kebutuhan PPK yang dituangkan dalam kontrak pengadaan bersama . Disini perlu dirancang kejelasannya mengenai sisi tanggung jawab dan pembiayaannya, agar pada pelaksanaanya nanti tidak adanya saling menyalahkan dan pembayaran baik APBD dan APBN tidak masalah.

Pertanyaan selanjutnya adalah : bagaimana jika paket pekerjaan nya dipecah dengan dua paket lelang dan nanti mendapatkan dua penyedia dan dua kontrak?

Bilamana dua dana tersebut memang diperuntukan untuk membiayai paket pekerjaan yang sama,dengan nama paket pekerjaan yang sama, lokasinya sama, dan design gambarnya juga merupakan satu tanggung jawab kontruksi, maka sanggat berpotensi akan berdampak pada kegagalan kontruksi jika 1 gedung yang sama dikerjakan dua penyedia yang berbeda.

KEGAGALAN KONTRUKSI

Kegagalan kontruksi pada pemecahan ini bisa saja terjadi pada tahap lelang dan tahap pelaksanaan.

  • Pada tahap pelelangan, akan adanya dampak gagal lelang, sehingga akan mempengaruhi waktu pelaksanaan juga, apalagi waktu pekerjaan yang membutuhkan waktu pelaksanaan yang lebih lama , sehingga akan berdampak pada estimasi waktu yang sudah dipersiapkan dari awal. Terhadap dampak ini, maka design yang semula sudah terdesign menjadi bangunan gedung yang bermanfaat/berfungsi sesuai kebutuhan pengguna, dapat saja tidak mencapai output seperti yang sudah direncanakan, hal ini tentu sudah tidak sesuai dengan azas bangunan gedung Negara yaitu terarah ,terencana dan berfungsi sesuai kebutuhan pengguna.
  • Pada tahap pelaksanaan,akan adanya permasalahan internal di dua penyedia yang bekerja pada satu gedung kontruksi tersebut akibat keterlambatan pekerjaan yang disebabkan salah satu penyedia dan berdampak pada penyedia yang lain. Saling lempar kesalahan jika terdapat kesalahan, walaupun dalam kontrak sudah ditegaskan uraian tanggungjawab masing masing PPK.

BERTENTANGAN DENGAN PEPRES NOMER 54 TAHUN 2010 DAN PERUBAHANNYA

Pemecahan paket juga bertentangan dengan pasal 24 , yaitu dilarang mengabungkan/menyatukan paket pekerjaaan yang memiliki jenis pekerjaan yang berbeda atau target penyedia yang berbeda dalam lokasi yang berbeda beda. Hal ini mengandung arti bahwa, bilamana satu paket pekerjaan tersebut adalah targetnya penyedia yang sama dan lokasinya sama, maka tidak dapat dipisahkan atau dipecah menjadi dua paket pekerjaan , meskipun sumber dana nya berbeda.

Ilustrasinya adalah :

PEMAKETAN PEKERJAAN TIDAK DIDASARKAN BEBERAPA SUMBER DANA YANG ADA, NAMUN DIDASARKAN BESARNYA NILAI DANA ( BACA : MHURUF A BERDASARKAN NILAI PEKERJAAN )

Untuk itu pada saat perencanaan designya, pengguna anggaran harus setidaknya memahami atau mengetahui kebutuhannya. Gedung apa yang akan dibangun, kapan waktunya dan berapa biayanya.

Untuk membantu PA dalam hal design, maka dibentuklah konsultan perencana. Konsultan perencana pada akhirnya akan memberikan output kepada pengguna bukan saja gambar dan biaya ( EE ), namun didalamnya juga sudah memasukan estimasi waktu dan metode pekerjaan sebagai acuan pada saat ekseskusi gambar pada pelaksanaan.

Berdasarkan pertanyaan saya diatas, saya memberikan beberapa pasal terkait jika terjadi nya kesalahan design :

Untuk Perencana :

Undang Undang Jasa Kontruksi Nomer 18 Tahun 1999 Pasal 26 :

  • Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan perencana dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka perencana wajib bertanggung jawab sesuai dengan bidang profesi dan dikenakan ganti rugi.

Peraturan Pemerintah Nomer 54 tahun 2016 perubahan PP nomer 29 Tahun 2010 :

  • Kegagalan pekerjaan konstruksi adalah keadaan hasil pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai dengan spesifikasi pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak kerja konstruksi baik sebagian maupun keseluruhan sebagai akibat kesalahan pengguna jasa atau penyedia jasa

Peratuan Mentri Nomer 31 Tahun 2015 pasal 4 :

  • Konsultan perencana bertanggung jawab terhadap hasil desain sekurang-kurangnya sampai produk desain tersebut selesai dilaksanakan pembangunannya, sepanjang lingkup dan/atau kondisi lingkungan masih sesuai dengan kriteria desain awal;
  • Konsultan perencana yang tidak cermat sehingga hasil desain tidak dapat dilaksanakan, dikenakan sanksi berupa keharusan menyusun kembali perencanaan dengan beban biaya dari konsultan perencana yang bersangkutan, apabila tidak bersedia dikenakan sanksi masuk dalam daftar hitam atau sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;

ALASAN MENGAPA USAHA KECIL DALAM KONTRUKSI TIDAK PERLU DIMINTA SUBKLASIFIKASI

Tulisan ini sengaja saya buat sekedar ingin berbagi kepada kawan kawan Pokja yang dimana saya sendiri Pokja juga. Banyak yang bertanya ” apakah dalam hal paket pekerjaan untuk usaha kecil cukup sampai klasifikasi saja, dan mengapa tidak sampai subklasifikasi?

Terlalu banyak sebenarnya aturan yang sudah jelas menyatakan bahwa memang untuk paket pekerjaan usaha kecil hanya cukup sampai klasifikasi saja, tidak sampai kesubklasifikasi . Contoh untuk paket usaha kecil dengan nilai HPS 1M pembangunan sekolah dipersyaratkan pada kualifikasi memiliki SBU klasifikasi bangunan gedung.

DASAR

  1. Peraturan Presiden Nomer 54 tahun 2010 dan perubahaannya
  2. Peratuan PUPERA 31 Tahun 2015
  3. SE PUPERA Nomer 11 tahun 2016
  4. PerLPJK 10 tahun 2013 dan perubahannya

Peraturan Presiden Nomer 54 tahun 2010 dan perubahaannya

  • Pada pasal 24 ayat 2 ” Pemaketan dilakukan dengan menetapkan sebanyak-banyaknya paket usaha untuk Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta koperasi kecil tanpa mengabaikan prinsip efisiensi, persaingan sehat, kesatuan sistem dan kualitas kemampuan teknis.
  • Pasal 24 ayat 3 huruf c ” dilarang menentukan kriteria, persyaratan atau prosedur pengadaan yang diskriminatif dan/atau dengan pertimbangan yang tidak obyektif.
  • Pasal 19 ayat 1 huruf a “memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjalankan kegiatan/usaha;
  • Pasal 19 ayat 1 huruf g :memiliki kemampuan pada bidang pekerjaan yang sesuai untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil dan koperasi kecil serta kemampuan pada subbidang pekerjaan yang sesuai untuk usaha non-kecil
  • Pasal 100 ayat 3″Nilai paket pekerjaan Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/ Jasa Lainnya sampai dengan Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah), diperuntukan bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta koperasi kecil,

Permen PUPERA Nomer 31 Tahun 2015

  • Batang tubuh pasal 6d angka 5 “Paket pekerjaan konstruksi dengan nilai di atas 2.,500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dipersyaratkan hanya untuk pelaksana konstruksi dengan kualifikasi Usaha Menengah yang kemampuan dasarnya (KD) memenuhi syarat. Hal ini berarti dibawah 2.5M diperuntukan untuk usaha kecil
  • Lampiran permen PUPERA 31 tahun 2015 “Tata Cara Kualifikasi, Memiliki kemampuan pada klasifikasi/sub klasifikasi pekerjaan yang sesuai/sejenis untuk badan usaha non kecil

SE Nomer 11 /SE/M/2016

  • paket pekerjaan dengan nilai sampai 2.5M dipersyaratkan SBU Klasifikasi bidang pekerjaan

Sebelum mengulas kaitanya dengan aturan PerLPJK Nomer 10 tahun 2013, yang nantinya ada kaitan juga dengan ketentuan diatas,  dapat disimpulkan , bahwa untuk usaha kecil cukup diminta berdasarkan klasifikasi saja. Permintaan subklasifikasi jelas bertentangan dengan pasal 24, pasal 19 dan aturan permen PU yang sudah saya ulas diatas, dimana pada pasal 24 sudah jelas dikatakan bahwa PA dilarang mempersyaratkan yang tidak obyektif,dan juga dijelaskan bahwa PA harus membuat pemaketan pekerjaan sebanyak banyak pada usaha kecil yang dimana persyaratan persyaratan yang dibuat tentunya tidak menghalangi usaha kecil masuk, kecuali paket pekerjaan yang diangap tidak mampu dipenuhi oleh usaha kecil ( pasal 100 ayat 3 kecuali untuk paket pekerjaan yang menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta koperasi kecil.)

Pertanyaanya, apakah  sebuah paket usaha kecil dengan nilai dibawah 2.5M diminta persyaratan subklasifikasi, usaha kecil yang memiliki SBU namun tidak memiliki subklasifikasi dimaksud dapat ikut? Tentu tidak bukan? karena berdasarkan aturan PERLPJK  nomer 10 tahun 2013 tidak semua subklasifikasi yang ada pada setiap SBU badan usaha kecil   dapat diberikan untuk usaha kecil, mereka dibatasi hanya dapat diberikan beberapa subklasifikasi. Hal inilah yang wajib diperhatikan, agar dengan paket yang diperuntukan untuk usaha kecil semua badan usaha kecil bisa masuk tanpa harus dibatasi dengan meminta subklasifikasi. Mari kita lihat dasarnya :

PerLPJK nomer 10 tahun 2013 dan perubahannya

  • pasal 9 ayat 2 Kualifikasi badan usaha meliputi, usaha kecil , menengah dan besar
  • pasal 9 ayat 3 usaha kecil dibagi menjadi 3 subkualifikasi, yaitu K1, K2 dan K3
  • subkualifikasi K1 dapat memiliki 2 (dua) klasifikasi berbeda dan paling banyak 4 (empat) subklasifikasi berbeda;
  • subkualifikasi K2 dapat memiliki 2 (dua) klasifikasi berbeda dan paling banyak 6 (enam) subklasifikasi berbeda;
  • Subkualifikasi K3 dapat memiliki 3 (tiga) klasifikasi berbeda dan paling banyak 8 (delapan) subklasifikasi berbeda;

Berdasarkan aturan diatas, maka 3 aturan baik Pepres, Permen PU dan SE nya tidak mengatur untuk usaha kecil diminta sampai subklasifikasi. hal ini tentunya beralaskan ketentuan diatas, dengan maksud memberi  semua usaha kecil yang memiliki ijin usaha dan SBU terkait dapat ikut paket pekerjaan tanpa dibatasi subklasifikasi.

seperti kita ketahun sesuai aturan permen Pu 08/2011 dan perubahannya,dan aturan PerLPJK nomer 10 tahun 2013 , bahwa setiap klasifikasi memiliki beberapa subklasifikasi. Contoh pada klasifikasi bangunan gedung saja, terdapat 9 subklasifikasi. Bila saja pada paket pekerjaan bangunan sekolah dengan nilai 1M diminta subklasifikasi bangunan gedung pendidikan, apakah usaha kecil yang tidak memiliki subklasifikasi bangunan pendidikan dapat ikut? tentunya tidak bukan?

maka seperti saya sudah ulas diatas, tidak semua subklasifikasi untuk usaha kecil dapat diberikan. Mereka dibatasi hanya dapat diberikan beberpa subklasifikasi.

contoh untuk usaha kecil subkualifikasi K3, diberikan 3 klasifikasi berbeda, kita contohkan saja yang mereka miliki klasifikasi bangunan gedung, bangunan sipil dan jasa pelaksanaa lainnya. Dan kita juga contohkan bahwa mereka juga dibatasi untuk usaha kecil K3, 8 subklasifikasi berbeda yaitu kita contohkan mereka memiliki:

  • 3 subklasifikasi pada klasifikasi bangun gedung adalah subklasifikasi bangunan kesehatan,kormesial dan bangunan gedung lainnya
  • 3 subklasifikasi pada klasifikasi bangunan sipil adalah subklasifikasi jalan raya (kecuali jalan layang), jalan, rel kereta api, dan landas pacu bandara,saluran air, pelabuhan, dam, dan prasarana sumber daya air lainnya dan instalasi pengolahan air minum dan air limbah serta bangunan pengolahan sampah
  • 2 subklasifikasi pada klasifikasi banguan gedung lainnya adalah subklasifikasi jasa penyewa alat konstruksi dan pembongkaran bangunan atau pekerjaan sipil lainnya dengan operator dan jasa pelaksana perakitan dan pemasangan konstruksi prafabrikasi untuk konstruksi bangunan gedung

Nah mungkin ketentuan diatas dapat dipahami. bagaimana jika dari 8 subklasifikasi tidak ada subklasifikasi yang diminta pada sebuah pekerjaan kontruksi? contoh pekerjaan sekolah, diminta subklasifikasi bangunan gedung pendidikan, tentunya jawabannya tidak akan bisa dipenuhi bagi usaha kecil yang tidak memiliki subklasifikasi gedung pendidikan.

maka dari itu, sesuai pasal 19 dan SE 11/2016 dan lampiran SBD LKPP dan permen PU tidak meminta subklasifikasi untuk paket usaha kecil, hal ini agar smua usaha kecil yang memiliki klasifikasi yang sesuai dapat ikut.

Bilamana memang dibutuhkan subklasifikasi pada nilai pekerjaan sampai dengan 2.5M, maka PA /PPK harus mampu menganalisa bahwa paket pekerjaan itu wajib diprioritaskan memiliki subklasifikasi dan KD nya, maka PA/PPK dapat menetapkan paket tersebut kdlm wilayah paket Non kecil dengan tetap memberi usaha kecil ikut sepanjang usaha kecil memiliki subklasifikasi dan KD yang sesuai

Jadi mungkin itu yang dapat saya ulas, semoga tulisan ini dapat menjadi pertimbangan temen temen Pokja.

BUKAN DIANGGAP SEBAGAI PENAWARAN

Mungkin tulisan ini hanya sekedar mengisi hari libur , namun di beberapa diskusi ada sebuah pertanyaan dari kawan Pokja yang mendiskusikan kasus diatas.

untitled

Dari screnshoot diatas, beberapa comentar mengatakan ada yang gugur pada tahapam administrasi, Teknis dan ada juga yang menyatakan gugur pada tahapan harga.

Beberapa Comentar yang ada :

  • Gugur evaluasi administrasi karena tidak menyampaikan surat penawaran dan metode pelaksanaan.
  • Gugur pada Proses evaluasi Administrasi dikarenakan Dokumen Penawaran yang disampaikan meluai SPSE tidak Lengkap
  • aturannyakan ! yang dievaluasi duluan itu Administrasi, kalau ditahapan ini gugur jangan dievaluasi dokumen lainnya. Jangan-jangan jaminan penawarannya juga ngak ada tuh.
  • Gugur evaluasi administrasi krn tidak menyampaikan surat penawaran

Comentar saya justru berbeda :

  • Tidak gugur di tahapan admin..tknis atau harga. karena penawaran peserta diatas diangap tdk menawar atau tdk diangap sebgai penawaran.
    Jadi tingal pada spse dibuat alasan pada kolom administrasi “pserta tdk dievaluasi lebih lanjut krna bukan sebgai penawaran.

Benarkan pendapat saya?

Perka etendering Nomer 1 Tahun 2015

File yang dianggap sebagai penawaran adalah dokumen penawaran yang berhasil dibuka dan dapat dievaluasi yang sekurang kurangnya memuat Satu file:

  • Harga penawaran,
  • Daftar kuantitas dan harga untuk kontrak harga satuan/gabungan,
    jangka waktu penawaran, dan
  • deskripsi/spesifikasi barang/jasa yang ditawarkan.

Jadi berdasarkan ketentuan diatas, maka peserta yang tidak melampirkan salah satu persyaratan diatas, tidak perlu dievaluasi lebih lanjut. Pokja tidak perlu menggugurkannya pada tahapan administrasi, tknis maupun tahapan lainnya, cukup pada kolom administrasi pada SPSE dan pada BAHP dibuat alasan bhawa penawaran atas naman CV/PT tidak diangap sebagai penawaran berdasarkan perka etendering.

PERSYARATAN MINIMAL ITU APA?

Sesuai kewenangan Pokja ULP pada pasal 17 ayat 2 hruf b dan f yaitu  ” Pokja ULP menetapkan dokumen dan Pokja ULP melakukan evaluasi administrasi, Teknis dan Harga terhadap penawran yang masuk.

Penetapan dokumen tentunya berawal tugas Pokja ULP menyusun dokumen yang dimana penyusunan dokumen dilakukan berdasarkan output dari RPP ( Rencana Pelaksanaan Pengadaan ) yang terlebih dahulu Pokja melakukan pengkajian RPP dan selanjutnya dilakukan RPLP yaitu Perencanaan Pemilihan Penyedia barang dan Jasa.

Pengkajian RPP dilakukan untuk mengkaji kembali terhadap penyusunan RPP yang sebelumnya telah ditetapkan oleh PPK. Tugas Pokja pada saat pengkajian RPP adalah melakukan review atau kembali melihat RPP HPS, Spesifikasi dan Rancangan kontrak, sedangkan pada tahapan RPLPL Pokja kembali memastikan terhadap pemaketan, metode apa yang akan dipakai, Kualifikasi apa yang akan ditetapkan , dll sebelum Pokja Menyusun dokumen pengadaan.

Berbicara penyusun dokumen pengadaan, tentunya Pokja ULP juga wajib memahami isi dokumen yang ditetapkannya, hal ini adalah tugas Pokja ULP pada pasal 17 ayat 1 huruf d yaitu Pokja ULP memahami isi dokumen, Metode dan prosedur pengadaan.

  • Untuk penjelasan memahami isi dokumen tentunya Pokja ULP diharapkan mampu menjelaskan nantinya isi dokumen , bukan saja hanya asal asalanya menyusun dokumen apalagi hanya COPY PASTE terhadap standar dokumen yang di download pada web LKPP atau Web Pekerjaan Umum. Contoh salah satu pada kasus ini adalah pada saat penjelasan , Pokja tidak mampu menjawab pertanyaan peserta, padahal kewajiban Pokja adalah memberikan penjelasan/menjelaskan kembali terhadap dokumen pengadaan.
  • Untuk Penjelasan prosedur pengadaan, tentunya Pokja ULP diharus kan mampu menyusun dokumen tanpa harus keluar dari acuan /Juknis atau ketentuan ketentuan yang sudah diatur Pepres 54 Tahun 2010 dan perubahannya atau peraturan peraturan lain yang terkait pengadaan barang dan jasa, baik PP, Permen ataupu ketentuan ketentuan lainnya. Contoh pada kasus ini adalah, masih banyak Pokja mencantumkan persyaratan persyaratan yang dilarang/tidak diwajibkan/diskriminatif/tidak obyektif dan paling parah yaitu, semua RPP yang diberikan PPK tidak pernah dilakukan kajian kembali , sehingga dokumen yang disusun tidak mengacu pada aturan sebenarnya atau over persyaratan, sehingga pengertian dokumen pengadaan tidak lagi berarti bahwa dokumen pengadaan adalah dokumen yang ditetapkan oleh Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan yang memuat informasi dan ketentuan yang harus ditaati oleh para pihak dalam proses Pengadaan Barang/Jasa, tapi dokumen pengadaan yang ditetapkan oleh Pokja ULP berdasarkan asumsi atau ketentuan ketentuannya tidak memuat informasi yang disepakati oleh pihak penyedia barang dan jasa. terkait tersebut, maka banyak terjadi ketidak puasan penyedia yang berujung pada sanggahan sampai ke pengaduan.

Masuk pada pokok permasalahan yang akan saya ulas, adalah pada saat penyusunan dokumen . Pada saat penyusun dokumen , Pokja ULP mengisi semua kebutuhan kebutuhan untuk pemilihan penyedia yang mana akan menjadi proposal penyedia untuk melakukan penawaran .

Yang namanya dokumen pengadaan tentunya terdiri dari 2 hal yaitu sesuai pasal 64 ayat 1 ” Pokja ULP menyusun dokumen terdiri dari Dokumen pemilihan dan Dokumen Kualifikasi” . Yang termasuk salah satu dokumen pemilihan adalah dimana salah satunya tertuang spesifikasi teknis, KAK dan atau gambar. Persyaratan tersebut bisa saja dituangkan pada LDP ( lembar data pemilihan ) atau pada Bab Bab lain yang dimana secara jelas dapat dibaca atau dimengerti oleh penyedia.

Pertanyaannya bagaimana tata cara penilaian penilain penilaian terhadap persyratan tersebut? Tentunya pada dokumen pengadaan sudah tertdapat IKP ( Intruksi kepada peserta ). Disinilah wajib dituangkan semua tata cara penilainya secara jelas, sehingga antara IKP dan LDP atau persyaratan lainnya saling berkaitan, atau tidak adanya pertentangan antara IKP dan Bab Bab lainnya. Contoh yang akan saya bahas adalah persyaratan minimal yang sudah dituangkan dalam dokumen pengadaan dan dijelaskan kembali pada IKP.

Pada IKP standar kita tentunya sudah diberi petunjuk seperti contoh pada evaluasi teknis “evaluasi teknis dilakukan dengan sistem gugur dengan ketentuan, Pokja ULP menilai persyaratan teknis minimal yang harus dipenuhi dengan membandingkan pemenuhan persyaratan teknis sebagaimana tercantum dalam Dokumen pengadaan”.

Apa maksud dari petunjuk tersebut? Hal inilah yang harus saya bahas karena masih banyak yang saya temukan Pokja menggugurkan penawaran yang subsantasinya jelas jelas sudah memenuhi minimal. Maksud dari persyaratan minimal adalah batasan sebuah persyaratan baik yang ditentukan oleh range, angka, ukuran dan atau batasan lain yang wajib dipenuhi oleh penyedia. Tentunya semua persyaratan persyaratan yang sudah ditentukan tersebut, wajib peserta menawar spesifikasi tidak dapat dibawah minimal yang ditentukan. Pokja ataupun peserta dilarang menambah atau mengurangi isi dokumen pengadaan atau penawaran setelah batas akhir pemasukan penawaran ( Pasal 79 ayat 2 ) dan Pokja wajib melakukan evaluasi berdasarkan dokumen pengadaan ( Pasal 79 ayat 1 )

Contoh persyaratan minimal yang dituangkan dalam spesifikasi teknis adalah saya coba contohkan pada pekerjaan peralatan pada pekerjaan kontruksi dan barang

CONTOH PERTAMA (KONTRUKSI )

” Pada sebuah LDP ditentukan peralatan 1 ( satu ) peralatan dumptruk berkapasitas 8 ton yang mana pada lingkup pekerjaannya peralatan tersebut digunakan hnnya untuk pengangkutan material kelokasi pekerjaan. Pada saat penawaran ada penyedia menawarkan 2 ( dua ) dumptruck masing masing berkapasitas 4 ton. Bagaimana terhadap penyedia ini, apakah gugur atau tidak?

Jawaban terhadap pertanyaan diatas akan saya coba kaitkan dengan peraturan yang ada. Pada Ketentuan Permen PU Nomer 7 Tahun 2011 dan perubahaanya ada sebuah acuan  yaitu : Apabila jenis, kapasitas, komposisi dan jumlah peralatan yang ditawarkan berbeda ,maka Pokja ULP harus membandingkan kapasitas produksi dari jumlah dan kapasitas peralatan, apabila hasilnya sama atau lebih besar, maka dianggap kapasitas produksi alat tersebut telah memenuhi.

berdasarkan penawaran peserta diatas dapat dilakukan dua hal untuk menilainya.

  1. Persyaratan minimal( Pokja ULP harus membandingkan kapasitas produksi dari jumlah dan kapasitas peralatan )
  2. Klarifikasi ( apabila hasilnya sama atau lebih besar, maka dianggap kapasitas produksi alat tersebut telah memenuhi) 

PERSYARATAN MINIMAL

Untuk angka 1 , Pokja melakukan evaluasi sesuai ketentuan pada dokumen pengadaan ( Pokja ULP harus membandingkan kapasitas produksi dari jumlah dan kapasitas peralatan ).  Untuk kasus diatas dimana pada dokumen pengadaan sudah ditentukan persyaratan minimal yaitu bahwa jumlah dibutuhkan 1 ( satu ) dumptruck berkapasitas 8 ton. Kata kunci jumlah persyaratan minimal diatas adalah 1 alat dan 8 ton. Berdasarkan kata kunci diatas, maka Pokja melakukan evaluasi dengan melihat peralatan yang ditawarkan oleh penyedia. Penyedia menawarkan 2 ( dua ) alat dumpruck berkapaistas masing masing 4 Ton. Berdasarkan persyaratan minimal diatas yang 1 alat berkapasitas 8 ton, maka peserta jelas menawarkan jumlah diatas minimal yaitu 2 ( dua ) dan kapasitas totalnya adalah 8 ( delapan ) ton. Jadi untuk persyaratan minimal tentunya sudah memenuhi.

Pertanyaan, apakah dapat diluluskan? Bisa ya atau tidak, tergantung hasil dari penjelasan berikutnya , Pokja tidak serta merta menggugurkan penawaran yang sudah memenuhi persyaratan

KLARIFIKASI

Dengan terpenuhi persyaratan minimal diatas, tentunya tidak semata mata diluluskan, Pokja wajib melakukan klarifikasi kepada peserta dengan membandingkan lingkup pekerjaan yang sudah ditentukan dalam dokumen pengadaan. Hasil klarifikasi yang akan terjadi adalah :

  • Bilamana secara lingkup pekerjaan terkait efisein waktu dan pelaksanaan pekerjaan tidak terganggu dengan 2 ( dua ) trip alat yang ditawarkan penyedia , maka penyedia tidak dapat digugurkan, dan
  • bilamana secara lingkup pekerjaan terkait efisien waktu yang mempengaruhi lingkup pekerjaan , maka penyedia digugurkan.

Kesimpulan nya adalah, bilamana DILULUSKAN maka harus memperhatikan penyimpangan yang bersifat penting/pokok atau penawaran bersyarat. Penyimpangan yang bersifat penting/pokok atau penawaran bersyarat adalah penyimpangan dari Dokumen Pengadaan yang mempengaruhi lingkup, kualitas dan hasil/kinerja pekerjaan.

CONTOH KEDUA ( BARANG )

Pada pekerjaan AC dbutuhkan misalnya 10  komputer dengan kapasitas 1 PK untuk ruangan 3 x 4  , ada penyedia menawarkan AC 2 PK apakah gugur?

Menyatakan gugur atau tidaknya dikembalikan pada persyaratan dokumen yaitu kata kuncinya adalah 1 ( satu ) PK dan peserta jelas diatas minimal dimana peserta sduah menawarkan 2 PK. Terkait hal ini tentunya dilakukan seperti hal diatas. Yang pertama harus diklarifikasi/dilhat, apakah dengan ruangan 3x 4 tidak terlalu dingin dalam ruangan dengan kapasitas AC 2 PK?  jikapun suhunya dapat diatur, wajib juga dilihat pemeliharaan, suku cadangnya dan juga kapasitas listrik yang dibutuhkan, bilamana keberadaan AC 2 PK mempengaruhi lingkup pekerjaan dan outputnya, maka dapat digugurkan.

Jadi untuk mengatasi masalah diatas dan bilamana keberadaan alat ditentukan kapasitasnya sesuai kebutuhan, maka secara tegas dokumen pengadaan harus dirubah kalimatnya pada IKP evaluasi teknis, dengan menghilangkan kata Minimalnya dengan mengantikan bhawa evaluasi teknis pada spesifikasi tidak dapat lebih dari ketentuan yang ditentukan, dan pada spesifikasi teknis dikalimatkan, 1 AC 1 PK. sepanjang syarat AC 1 PK tidak menghalangi persaingan usaha yg tidak sehat, maka dapat dilakukan atau bilamana AC 1 PK hanya dapat dipenuhi oleh 1 merk, maka dapat dilakukan penunjukan langsung. ( hanya contoh )

demikianlah ulasan ini dapat saya sampaikan, sekedar mengisi waktu hari raya. Jika tidak berkenan mohon di beri komentar.

PPK SEMESTINYA MEMAHAMI MANA PERSONIL YANG DINILAI DALAM SELEKSI DAN MANA PERSONIL YANG TIDAK DINILAI PADA SELEKSI

TOPIK MASALAH

Tulisan ini muncul karena ada permasalahan pada saat pelaksanaan pekerjaan dimana salah satu personil pendukung dari konsultan pengawas tidak pernah hadir pada saat pengawasan pekerjaan. Berita terakhir yang saya dapat dengar adalah, PPK mengatakan bahwa personil pendukung tersebut tidak lagi bekerja pada konsultan pengawasan tersebut.

Dengan dasar tersebut, PPK mengatakan bhawa Pokja mengabaikan legalitas personil tersebut pada saat seleksi dan mengatakan , sebenarnya konsultan diatas sudah harus digugurkan dan diusulkan daftar hitam karena sudah memalsukan data.

Berdasarkan kasus diatas, maka saya mencoba menulis agar kedepan sama sama saling memahami dan tidak serta merta menyalahkan hasil seleksi dari pokja, karena tidak semua permasalahan yang terjadi  pada saat pelaksanaan pekerjaan adalah kesalahan pokja.

PERSONIL JASA KONSULTASI PADA SELEKSI KONSULTAN

TENAGA AHLI

Jasa Konsultansi adalah jasa layanan professional yang membutuhkan keahlian tertentu di berbagai bidang keilmuan yang mengutamakan adanya olah pikir (brainware)

Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pada jasa konsultasi, baik perencanaan atau pengawasan pekerjaan pada jasa kontuksi dibutuhkan orang orang yang memiliki keahlian olah fikir yang profesional untuk dapat membantu PPK dalam pekerjaannya. Orang orang profesional tersebut tentunya adalah tenaga ahli  yang memiliki dan diakui dalam sebuah kepemilikian sertifikat yang disebut sertifikat keahlian.

Hal ini jug mengacu kapada ketentuan Undang Undang jasa kontruksi nomer 18 tahun 1999 pasal 9 bahwa , Perencana konstruksi dan pengawas konstruksi orang perseorangan harus memiliki sertifikat keahlian. Hal ini tentunya berbeda dengan pelaksana jasa kontruksi, yang dimana selain wajib memiliki SKA harus juga wajib memiliki SKK/SKT.

TENAGA PENDUKUNG

Permasalahan kasus diatas adalah terletak pada ketiadaan tenaga pendukung yang baru diketahui oleh PPK pada saat pelaksanaan pekerjaan dikarenakan personil tersebut tidak pernah hadir pada saat pekerjaan. Yang jadi pertanyaan adalah MENGAPA baru diketahui setelah pelaksanaan pekerjaan ( pasca Kontrak ), kenapa tidak diketahui seblum penandatangan kontrak?

Mungkin ada yang bertanya, kenapa mesti itu kewenangan PPK yang wajib memastikan personil pendukung diatas, kenapa tidak Pokja pada saat seleksi? jawabnya adalah, kita harus mampu membedakan, mana ranah Pokja dan mana bukan ranah Pokja. Ranah pokja jelas adalah melakukan evaluasi terhadap semua personiltenaga ahli yang dinilai/diseleksi tidak termasuk tenaga pendukung.

Penilaian personil tenaga ahli pada dokumen pengadaan dilakukan pada evaluasi teknis :

Evaluasi penawaran teknis dilakukan dengan cara memberikan nilai angka tertentu pada setiap kriteria yang dinilai dan bobot yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pengadaan/Seleksi, kemudian membandingkan jumlah perolehan nilai dari para peserta, dengan ketentuan  :

  • Kualifikasi tenaga ahli                     (50 – 70 %)*);

Catatan extreme: tidak di isi pun nama personil pendukung, Pokja tidak dapat menggugurkan penawaran peserta, karena dalam konsultan tidak menggunakan SISTIM GUGUR

Selama dalam KAK ,PPK sudah menuangkan yang mana adalah personil tenaga ahli dan mana personil pendukung, maka yang dinilai hanya adalah personil tenaga ahli yang diberi nilai dan bobot pada setiap personil tenaga ahli.

Untuk pendukung, tidak dilakukan penilaian seperti pembobotan tenaga ahli, hanya dilakukan klairifikasi terkait kewajaran harganya. Mengenai kualifikasi personilnya, sepantas PPK wajib memastikan bahwa personil tersebut ada pada saat pelaksanaan pekerjaan, bisa saja dilakukan gelar personil, apabila PPK tidak yakin/ingin memastikan semua personil yang dibutuhkan pada saat pelaksanaan pekerjaan sebelum penandantangan kontrak.

Apabila setelah diminta gelar personil, peserta tidak mampu menghadirkan personil sesuai dengan dokumen pengadaan karena alasan tertentu , maka tidak dapat dilakukan kontrak, karena penandatangan kontrak hanya dapat dilakukan setelah semua syrt dipenuhi,  atau bilamana ada indikasi pemalsuan sesuai data diatas, PPK dapat saja membatalkan menjadi pemenang dan mengusulkan blacklist kepada PA.

Jadi menurut saya sudah sangat jelas, PPK tidak dapat menyalahkan hasil seleksi Pokja selama Pokja sudah melakukan evaluasi dengan baik dan benar. Terhadap pelaksanaan yang terdapat permasalahan, yang dicari bukan siapa yang memenangkannya atau siapa yang harus disalahkan, namun harus bisa memahami, bahwa setelah PPK berani menandatangani SPBJ dan Kontrak, berati PPK sudah menyetujui hasil Pokja, dan selanjutnya tugas PPK untuk beperan sebagai pengendali kontrak, bukan dikendalikan kontrak.

SEMOGA BISA SABARRR SABARRR DAN SABARRRRR

SURAT KUASA MENJADI PERSYARATAN SUBSTANSIAL

Surat penawaran yang tidak ditandatangani sampai distempel basahpun memang kita ketahui tidak mengugurkan, karena sesuai Perka etendering nomer 1 tahun 2015 itu sudah termasuk tandatangan digital direktur.

Permasalahan yang terjadi adalah,pada saat pembukaan penawaran, nama orang yang menandatangani surat penawaran bukan atas nama direktur tapi nama orang lain. Selain itu pada saat klarifikasi dan pembuktian kualifikasi pun terkadang bukan direktur yang menghadiri, sehingga sering terfikir dibenak kita, bahwa peserta ini sekedar meminjam bendera untuk mengikuti pelelangan.

Jika kita membaca lampiran Permen PU dari nomer 14 dan 31 tahun 2015, keberadaan surat kuasa menjadi syarat subsantansial pada dokumen penawaran, yaitu dokumen penawaran meliputi :

  1. surat penawaran;
  2. Jaminan Penawaran asli (untuk paket pekerjaan di atas Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah));
  3. daftar kuantitas dan harga;
  4. surat kuasa dari direktur utama/pimpinan perusahaan kepada penerima kuasa yang namanya tercantum dalam akta pendirian atau perubahannya (apabila dikuasakan);
  5. surat perjanjian kemitraan/kerja sama operasi (apabila bermitra);
  6. dokumen penawaran teknis.
  7. RK3K;
  8. rekapitulasi perhitungan TKDN;
  9. data kualifikasi.

Pada angka 4 itu sudah jelas sekali, bilamana dikuasakan, maka peserta wajib melampirkan surat kuasa dari direktur yang tercantum dalam akte perusahaan, dan bilamana tidak dilampirkan , maka itu berarti tidak dapat orang lain menandatangani surat penawaran apalagi hadir sampai pembuktian kualifikasi.

Klausul ini menurut saya sangat tepat sekali, agar kedepan bilamana dikuasakan, maka dari sejak awal, direktur memberi kuasa kepada orang yang akan melakukan penawaran sampai dengan pembuktian kualifikasi, sehingga akan meyakinkan Pokja bahwa direktur sudah mengetahui perusahaannya ikut dalam pelelangan.

Hanya orang yang tercantum dalam surat kuasa atau direktur tersebut yang dapat menandatangi surat penawaran dan  hadir pada saat dibutuhkan pada pemilihan, baik klarifikasi atau undangan lainnya.

Bilamana dalam dokumen penawaran tidak dicantumkan surat kuasa, maka apabila yang menandatangani orang lain yang tidak dikuasakan,maka sudah gugur pada tahapan administrasi